Di sini saya akan sedirkit berbagi tentang makalah
Ekonomu Islam, apabila masih ada kekurangan mohon dimaklumi dan berikan
saran+kritiknya
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang.
Pemikiran ekonomi Islam diawali sejak Muhammad saw
dipilih sebagai seorang Rasul (utusan Allah). Rasulullah saw mengeluarkan
sejumlah kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan hidup masyarakat, selain masalah hokum (fiqh), politik
(siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalat). Masalah-masalah
ekonomi umat menjadi perhatian Rasulullah saw, karena masalah ekonomi merupakan
pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan. Sebagaimana diriwayatkan oleh
Muslim, Rasulullah saw bersabda, “kemiskinan membawa orang kepada kekafiran”.
Maka upaya untuk mengentas kemiskinan merupakan bagian dari kebijakan-kebijakan
social yang dikeluarkan Rasulullah saw.
Selanjutnya kebijakan-kebijakan Rasulullah saw menjadi
pedoman oleh para penggantinya Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan,
dan Ali bin Abi Thalib dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al-Qur’an dan
Al-Hadits digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga
digunakan oleh para pengikutnya dalam menata kehidupan ekonomi Negara.
Perkembangan pemikiran ekonomi Islam pada masa Nabi
Muhammad saw belum berkembang, hal ini disebabkan karena masyarkat pada saat
itu langsung mempraktekannya dan apabila menemui persoalan dapat menanyakan
langsung kepada Nabi. Sementara secara kontekstual persoalan ekonomi pada masa
itu belum begitu kompleks. Secara mikro praktek ekonomi yang dilakukan oleh
Nabi dan para sahabat pada masa itu sarat dengan unsur economic justice dalam
kerangka etika bisnis yang Qur’ani.
Pemikiran ekonomi baru menunjukkan sosoknya sepeninggal
Nabi dan kehidupan social ekonomi masyarakat semakin berkembang. Pemikiran
ekonomi Islam mulai didokumentasikan kurang lebih sejak tiga abad semenjak wafatnya
Nabi. Beberapa yang cukup terkenal antara lain Abu Yusuf1 (731-798), Yahya ibn
Adham (818), El-Hariri (1054-1122), Tusi ((1201-1274), Ibn Taymiyah
(1262-1328), Ibn Khaldun (1332-1406) dan Shah Waliullah (1702-1763). Setelah
itu muncul pemikir- pemikir kontemporer abad ke-20 antara lain Fazlur Rahman,
Baqir As-Sadr, Ali Shariati, Khurshid Ahmad, M. Nejatullah Shiddiqi, M. Umar
Chapra, M. Abdul Mannan, Anas Zarqa, Monzer Kahf, Syed Nawab Haider Naqvi, M.
Syafii Antonio. M. Azhar Basyir.
Pokok bahasan dalam makalah yang berjudul Pemikiran
Ekonomi Islam Syed
Nawab Haider Naqvi adalah sebagai berikut :
· Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi· Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi dalam konteks Ekonomi
Modern
II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi
1.Hakekat Ilmu Ekonomi
Islam
Ilmu ekonomi Islam, merupakan suatu sistem perekonomian
yang diatur berdasarkan syariat Islam representatif dalam masyarakat muslim
modern, tentunya berpedoman kepada al-qur’an dan hadits. Berdasarkan
komposisinya, ia bersifat normatif, bukan bersifat positif sebagaimana ilmu
ekonomi neo-klasik. Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi
tentang pengelolaan harta benda menurut perpektif Islam2. Ekonomi Islam sebagai
ilmu ekonomi didasarkan atas sumber hukum Islam; Al-Qur’an dan Al-Hadits.3
Secara
epistemologis, ekonomi Islam dibagi menjadi dua disiplin ilmu;4
Pertama,
ekonomi Islam normatif, yaitu studi tentang hukum-hukum syariah
Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda (al-mâl).
Ekonomi Islam positif, yaitu studi tentang konsep-konsep Islam yang berkaitan
dengan urusan harta benda, khususnya yang berkaitan dengan produksi barang dan
jasa. Cakupannya adalah segala macam cara (uslub) dan sarana (wasilah) yang
digunakan dalam proses produksi barang dan jasa
2.
Dasar-dasar Etika Ilmu Ekonomi Islam
Pandangan Naqvi tentang manusia dalam hubungan dengan
dirinya sendiri dan
lingkungan
sosialnya, dapat dipresentasikan empat etika, yaitu :
b. Keseimbangan / Kesejajaran (al-‘Adl wa al-Ihasan)
c. Kehendak Bebas (Ikhtiyar)
d. Tanggung Jawab (Fardh)
3.
Menuju Ilmu Ekonomi Islam Normatif
Karya Syed Nawad Haidir Naqvi ini diinspirasikan oleh karya
L. Robbin
(1932),
yang dirancang untuk menyoroti perbedaan pendekatan antara ilmu
ekonomi
(neo-klasik) positif dan ilmu ekonomi Islam yang menekankan pentingnya unsur
etika dalam ilmu ekonomi Islam. Sementara Robin dan paradigma neo-klasik lain
menolak peranan etika, para ekonomi Islam memandang itu mutlak sentral untuk
menentukan keabsahan pernyataan- pernyataan ekonomi.
Para ekonom klasik, Karl Menger di Austria, Stanley Jevons
di Inggris, dan Leon Walras di Perancis, menciptakan ilmu ekonomi modern dengan
teori “marginal utility” mereka, lalu enam puluh tahun kemudian, ketika terjadiG
re a t
Depression yang menggoncangkan teori neo-klasik, John Maynard
Keynes
membuat
sintesis baru, teori ekonomi Negara-negara bangsa. Dalam teori ini,
teori
marginal utility neo-klasik merupakan sub-set, sebuah building block yang
diperhalus
kembali sebagai ilmu ekonomi mikro5. Teori ekonomi yang dibungkus di dalam
asumsi-asumsi paradigma klasik dan neo-klasik patut diragukan pada situasi ini.
Masalah dan tantangan yang dihadapi ahli ekonomi masa kini lebih kompleks,
bahkan lebih fundamental, daripada yang dihadapi pendahulunya.
Paradigma
neo-klasik, individualistic, rasionalistik dan utilitarianistikya ng
menggiurkan
yang diterapkan tidak hanya dibidang ekonomi, tapi juga,
meningkat
pada susunan relasi-relasi social, dari teman sampai keluarga.
Paradigama
neo-klasik bukan hanya mengabaikan dimensi moral, melainkan
secara
aktif menolak dimasukkannya dimensi moral tersebut.
Yang
sangat menarik dari tulisan-tulisannya, bahwa pemikiran dan
kemampuannya
yang selalu konsisten untuk mengangkat ajaran Islam sebagai suatu system yang
komprehensif bagi kehidupan manusia, meskipun sikap pemikirannya itu membuat
gentar para pengkritiknya yang cenderung dangkal dalam berfikir. Namun semua kritikan itu ditanggapi
dengan lapang dada dan
ilmiah,
karena sebagian besar kritikan tersebut mempertanyakan nukilan tulisan yang
jadi pokok bahasannya. Bisa jadi karya-karya Syed Nawad Haider Naqvi sebagai
alternative jawaban atas berbagai persoalan yang sedang melanda umat Islam
dalam bidang ekonomi.
Pada
karyanya yang sekarang menjadi bahan resensi ini akan sangat jelas ide-ide
beliau
dalam memaparkan persoalan ekonomi Islam dan mengecam paradigma
klasik
dan neo-klasik yang mengabaikan dimensi moral. Bahkan dia mengatakan
bahwa
kesuksesan atau tidaknya dunia ekonomi Islam ditentukan oleh sejauh
mana
nilai-nilai etika-religius itu diwujudkan dalam kehidupan riil. Disamping
itu,
untuk melengkapi gagasannya tentang ekonomi Islam juga telah ditulis
karyanya,
Ethics and Econimic : An Islamic Synthesis,6
dia berhasil mengembangkan suatu
frame-work/bingkai analitik-sistematik yang berisi sebagian besar
nilai-etik-dasar Islam, yang bisa digunakan sebagai dasar dalam melakukan
deduksi logis pedoman kebijakan ekonomi.
4.
Perbandingan Sistem Ekonomi
Dalam sistem ekonomi Islam, tiga asas tersebut tidak boleh
tidak harus terikat dengan syariah Islam, sebab segala aktivitas manusia
(termasuk juga kegiatan ekonomi) wajib terikat atau tunduk kepada syariah
Islam. Sesuai kaidah syariah, Al-Ashlu fi al-af’âl al-taqayyudu bi al-hukm
al-syar’i (Prinsip dasar mengenai perbuatan manusia, adalah wajib terikat
dengan syariah Islam).7
Paradigma sistem ekonomi Islam tersebut bertentangan secara
kontras dengan paradigma sistem ekonomi kapitalisme saat ini, yaitu
sekularisme. Aqidah Islamiyah sebagai paradigma umum ekonomi Islam menerangkan
bahwa Islam adalah agama dan sekaligus ideologi sempurna yang mengatur segala
asek kehidupan tanpa kecuali, termasuk aspek ekonomi.8
Paradigma Islam ini berbeda dengan paradigma sistem ekonomi
kapitalisme, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).9 Paham
sekularisme lahir sebagai jalan tengah di antara dua kutub ekstrem, yaitu di
satu sisi pandangan Gereja dan para raja Eropa bahwa semua aspek kehidupan
harus ditundukkan di bawah dominasi Gereja. Di sisi lain ada pandangan para
filosof dan pemikir (seperti Voltaire, Montesquieu) yang menolak eksistensi
Gereja. Jadi, sekularisme sebagai jalan tengah pada akhirnya tidak menolak
keberadaan agama, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan.
Agama hanya ada di gereja, sementara dalam kehidupan publik seperti aktivitas
ekonomi, politik, dan sosial, tidak lagi diatur oleh agama.10
Selanjutnya, karena agama sudah disingkirkan dari arena
kehidupan, lalu siapa yang membuat peraturan kehidupan? Jawabnya adalah:
manusia itu sendiri, bukan Tuhan, karena Tuhan hanya boleh berperan di bidang
spiritual (gereja). Lalu agar manusia bebas merekayasa kehidupan tanpa kekangan
Tuhan, maka manusia harus diberi kebebasan (freedom/al-hurriyat) yaitu;
kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah
al-ra`yi), kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syahshiyah), dan kebebasan
kepemilikan (hurriyah al- tamalluk). Bertitik tolak dari kebebasan kepemilikan
inilah, lahir sistem ekonomi kapitalisme. Dari tinjauan historis dan ideologis
ini jelas pula, bahwa paradigma sistem ekonomi kapitalisme adalah
sekularisme.11
Sekularisme ini pula yang mendasari paradigma cabang
kapitalisme lainnya, yaitu paradigma yang berkaitan dengan kepemilikan,
pemanfaatan kepemilikan, dan distribusi kekayaan (barang dan jasa) kepada
masyarakat. Semuanya dianggap lepas atau tidak boleh disangkutpautkan dengan
agama.
Berdasarkan sekularisme yang menafikan peran agama dalam
ekonomi, maka dalam masalah kepemilikan, kapitalisme memandang bahwa asal usul
adanya kepemilikan suatu barang adalah terletak pada nilai manfaat (utility)
yang melekat pada barang itu, yaitu sejauh mana ia dapat memuaskan kebutuhan
manusia. Jika suatu barang mempunyai potensi dapat memuaskan kebutuhan manusia,
maka barang itu sah untuk dimiliki, walaupun haram menurut agama, misalnya
babi, minuman keras, dan narkoba. Ini berbeda dengan ekonomi Islam, yang
memandang bahwa asal usul kepemilikan adalah adanya izin dari Allah SWT (idzn
Asy-Syâri’) kepada manusia untuk memanfaatkan suatu benda. Jika Allah
mengizinkan, berarti boleh dimiliki. Tapi jika Allah tidak mengizinkan (yaitu
mengharamkan sesuatu) berarti barang itu tidak boleh dimiliki. Maka babi dan
minuman keras tidak boleh diperdagangkan karena keduanya telah diharamkan
Allah, yaitu telah dilarang kepemilikannya bagi manusia muslim.12
Dalam masalah pemanfaatan kepemilikan, kapitalisme tidak
membuat batasan tatacaranya (kaifiyah-nya) dan tidak ada pula batasan jumlahnya
(kamiyah-nya). Sebab pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme adalah cermin
dari paham kekebasan (freedom/liberalism) di bidang pemanfaatan hak milik. Maka
seseorang boleh memiliki harta dalam jumlah berapa saja dan diperoleh dengan
cara apa saja. Walhasil tak heran di Barat dibolehkan seorang bekerja dalam
usaha perjudian dan pelacuran. Sedangkan ekonomi Islam, menetapkan adanya
batasan tatacara (kaifiyah-nya), tapi tidak membatasi jumlahnya (kamiyah-nya).
Tatacara itu berupa hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan cara pemanfaatan
(tasharruf) harta, baik pemanfaatan yang berupa kegiatan pembelanjaan (infaqul
mâl), seperti nafkah, zakat, shadaqah, dan hibah, maupun berupa pengembangan
harta (tanmiyatul mal), seperti jual beli, ijarah, syirkah, shina’ah
(industri), dan sebagainya. Seorang muslim boleh memiliki harta berapa saja,
sepanjang diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariah Islam. Maka dalam
masyarakat Islam tidak akan diizinkan bisnis perjudian dan pelacuran, karena
telah diharamkan oleh syariah.
Dalam masalah distribusi kekayaan, kapitalisme
menyerahkannya kepada mekanisme pasar, yaitu melalui mekanisme harga
keseimbangan yang terbentuk akibat interaksi penawaran (supply) dan permintaan
(demand). Harga berfungsi secara informasional, yaitu memberi informasi kepada
konsumen mengenai siapa yang mampu memperoleh atau tidak memperoleh suatu
barang atau jasa. Karena itulah peran negara dalam distribusi kekayaan sangat
terbatas. Negara tidak banyak campur tangan dalam urusan ekonomi, misalnya
dalam penentuan harga, upah, dan sebagainya. Metode distribusi ini terbukti
gagal, baik dalam skala nasional maupun internasional. Kesenjangan kaya miskin
sedemikian lebar. Sedikit orang kaya telah menguasai sebagian besar kekayaan,
sementara sebagian besar manusia hanya menikmati sisa-sisa kekayaan yang sangat
sedikit.13
Dalam ekonomi Islam, distribusi kekayaan terwujud melalui
mekanisme syariah, yaitu mekanisme yang terdiri dari sekumpulan hukum syariah
yang menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme
syariah ini terdiri dari mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi.
B.
Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi dalam konteks Ekonomi Modern
1.
Sasaran dan Kebijakan dalam Ekonomi Islam
Ada lima sasaran kebijakan yang bisa ditarik dari
postulat-postulat etika ekonomi Islam, yaitu :
a. Kebebasan Individu
b. Keadilan Distributif
c. Pendidikan Universal
d. Pertumbuhan Ekonomi
e. Menciptakan Lapangan Kerja Secara Maksimal
2.
Taksonomi Instrumen Kebijakan
a. Institusi Kepemilikan Pribadi
b. Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan
c. Sistem Jaminan Sosial
d. Masalah Kepemilikan Publik
Karya Syed Nawad Haidir Naqvi ini diinspirasikan oleh karya
L. Robbin
(1932),
yang dirancang untuk menyoroti perbedaan pendekatan antara ilmu ekonomi
(neo-klasik) positif dan ilmu ekonomi Islam yang menekankan pentingnya unsur
etika dalam ilmu ekonomi Islam. Sementara Robin dan paradigma neo-klasik lain
menolak peranan etika, para ekonomi Islam memandang itu mutlak sentral untuk
menentukan keabsahan pernyataan- pernyataan ekonomi.
Para ekonom klasik, Karl Menger di Austria, Stanley Jevons
di Inggris, dan Leon Walras di Perancis, menciptakan ilmu ekonomi modern dengan
teori “marginal utility” mereka, lalu enam puluh tahun kemudian, ketika
terjadiG re a t
Depression yang menggoncangkan teori neo-klasik, John
Maynard Keynes
membuat
sintesis baru, teori ekonomi Negara-negara bangsa. Dalam teori ini,
teori
marginal utility neo-klasik merupakan sub-set, sebuah building block yang
diperhalus
kembali sebagai ilmu ekonomi mikro14. Teori ekonomi yang dibungkus di dalam
asumsi-asumsi paradigma klasik dan neo-klasik patut diragukan pada situasi ini.
Masalah dan tantangan yang dihadapi ahli ekonomi masa kini lebih kompleks,
bahkan lebih fundamental, daripada yang dihadapi pendahulunya. Paradigma
neo-klasik, individualistic, rasionalistik dan
utilitarianistik yang menggiurkan yang diterapkan tidak
hanya dibidang
ekonomi,
tapi juga, meningkat pada susunan relasi-relasi social, dari teman
sampai
keluarga. Paradigama neo-klasik bukan hanya mengabaikan dimensi
moral,
melainkan secara aktif menolak dimasukkannya dimensi moral tersebut.
Yang
sangat menarik dari tulisan-tulisannya, bahwa pemikiran dan kemampuannya yang selalu konsisten untuk mengangkat ajaran
Islam sebagai suatu system yang komprehensif bagi kehidupan manusia, meskipun
sikap pemikirannya itu membuat gentar para pengkritiknya yang cenderung dangkal
dalam berfikir. Namun semua kritikan itu ditanggapi dengan lapang dada dan
ilmiah, karena sebagian besar kritikan tersebut
mempertanyakan nukilan tulisan yang jadi pokok bahasannya. Bisa jadi
karya-karya Syed Nawad Haider Naqvi sebagai alternative jawaban atas berbagai
persoalan yang sedang melanda umat Islam dalam bidang ekonomi.
Pada karyanya yang sekarang menjadi bahan resensi ini akan
sangat jelas
ide-ide beliau dalam memaparkan persoalan ekonomi Islam dan
mengecam
paradigma
klasik dan neo-klasik yang mengabaikan dimensi moral. Bahkan dia
mengatakan bahwa kesuksesan atau tidaknya dunia ekonomi
Islam ditentukan
oleh
sejauh mana nilai-nilai etika-religius itu diwujudkan dalam kehidupan riil.
Disamping
itu, untuk melengkapi gagasannya tentang ekonomi Islam juga telah
ditulis karyanya, Ethics and Econimic : An Islamic
Synthesis,15
dia berhasil
mengembangkan suatu frame-work/bingkai analitik-sistematik
yang berisi sebagian besar nilai-etik-dasar Islam, yang bisa digunakan sebagai
dasar dalam
melakukan deduksi logis pedoman kebijakan ekonomi.
3. Teori ekonomi Islam menurut Syed Nawad Haider Naqvi
Menurut Syed Nawad Haidir Naqvi, ekonomi Islam berakar pada
pandangan dunia khas Islam dan premis-premis nilainya diambil dari ajaran-
ajaran etik-sosial al-Qur’an dan Sunnah. Ekonomi Islam berpijak pada landasan
hukum yang pasti yang mempunyai manfaat untuk mengatur masalah kemasyarakatan,
sehingga hukum harus mampu menjawab segenap masalah manusia, baik masalah yang
besar sampai sesuatu masalah yang belum dianggap masalah.16 Sumber hukum yang
diakui sebagai landasan hukum ekonomi Islam terdiri dari Al-Qur’an, Al-Hadits,
Ijtihad, Qiyas, dan sumber hukum yang lain : Urf, Istihsan, Istishlah, Istishab
dan Mashlaha Al-Mursalah.17
Ekonomi syariah atau istilah lain orang menyebutnya dengan
ekonomi Islam, merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur berdasarkan
syariat Islam, tentunya berpedoman kepada al-qur’an dan hadits. Orang awam
sering membedakan, bahwa sistem ekonomi kapitalis-liberal dibangun dengan
prinsip menang-kalah. Siapa yang kuat dialah yang mendominasi dan dialah yang
jaya, sedangkan ekonomi islam atau ekonomi syariah mempunyai prinsip
kebersamaan, dan yang lebih penting rekomendasi langsung dari pemegang
otoritas, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, Al-Qur’an dan Sunnah menjadi
referensi yang mutlak.18
Islam sebagai way of life, menyatukan dua dimensi alam pada
dirinya, yaitu materiil dan immateriil (duniawi dan ukhrawi). Kedua implikasi
tersebut perimplikasi pada sebuah tanggung jawab bagi penganutnya, yaiture w a
rd atau
punishment dari Allah, aturan secara lengkap di sinyalir
dalam al-Qur’an dan
hadits sebagai pedoman utamanya. Oleh karena itu, dalam
Islam, segala hal yang terkait dengan kepentingan ummat diatur didalamnya,
mulai dari hubungan dengan Tuhan, hingga hubungan interaksi kepada sesama umat
manusia dan makhluk lainnya, dengan berbagai aturan dan tata caranya yang
disusun secara tertib dan rapi. Sehingga keberadaan Islam sebagai rahmatan lil
alamin bagi ajaran-ajarannya itu tidak dapat di pungkiri lagi, tidak hanya
mengatur masalah ritual saja antara hamba dan Tuhannya, tapi juga mengatur
masalah masalah sosial yang ada.
3. Restrukturisasi Sistem Ekonomi
a. Mekanisme Pemikiran Syed Nawab Haider Naqvi
b. Landasan Pemikiran Syed Nawab Haider Naqvi
4. Visi Ekonomi
C.
Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi dalam konteks Ekonomi
Modern
D.
Pendapat Presensi
III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Ilmu Ekonomi syariah atau istilah lain orang menyebutnya
dengan ilmu ekonomi Islam, merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur
berdasarkan syariat Islam representatif dalam masyarakat muslim modern,
tentunya berpedoman kepada al-qur’an dan hadits. Berdasarkan komposisinya, ia
bersifat normatif, bukan bersifat positif sebagaimana ilmu ekonomi neo-klasik.
Orang awam sering membedakan, bahwa sistem ekonomi neo-klasik identik
kapitalis-liberal dibangun dengan prinsip menang-kalah. Siapa yang kuat dialah
yang medominasi dan dialah yang jaya, sedangkan ekonomi lslam atau ekonomi
syariah mempunyai prinsip kebersamaan, dan yang lebih penting rekomendasi
langsung dari pemegang otoritas, yaitu Allah SWT.
0 komentar :
Posting Komentar