BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pencapaian visi, misi dan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan bersama oleh warga sekolah, diperlukan kondisi sekolah yang kondusif dan keharmonisan antara tenaga pendidikan yang ada di sekolah antara lain kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, dan orang tua murid/masyarakat yang masing-masing mempunyai peran yang cukup besar dalam mencapai tujuan organisasi.
Suatu organisasi akan berhasil dalam mencapai tujuan dan program-programnya jika orang-orang yang bekerja dalam organisasi tersebut dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik sesuai dengan bidang dan tanggung jawabnya. Agar orang-orang dalam organisasi tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka diperlukan seorang pemimpin yang dapat mengarahkan segala sumber daya dan membawa organisasi pendidikan (sekolah) menuju ke arah pencapaian tujuan.
Dalam suatu organisasi, berhasil atau tidaknya tujuan tersebut sangat dipengaruhi oleh factor-faktor seperti pemimpin dan orang yang dipimpinnya, serta perilaku organisasi yang dijalankannya. Agar organisasi dan kepemimpinan yang dilaksanakan oleh pemimpin dalam organisasi dapat berjalan secara efektif dan efesien, salah satu tugas yang harus dilakukan adalah mengawal dan mengarahkan perilaku organisasi dalam memberikan kepuasan kepada orang yang dipimpinnya/ yang menjadi costumernya.
Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin di lingkungan satuan pendidikan harus mampu mewujudkan tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Kepemimpinan dalam lingkungan satuan pendidikan selalu melibatkan upaya seorang kepala sekolah untuk mempengaruhi perilaku organisasi, para pengikut/guru dalam suatu situasi. Agar kepala sekolah dapat melaksanakan fungsi kepemimpinannya, dia bukan saja harus memiliki wibawa tetapi harus memiliki kesanggupan untuk menggunakan wibawa ini terhadap para guru supaya diperoleh kinerja guru yang baik.
Dalam sebuah organisasi perlu ditetapkan arah perilaku organisasi dan azas-azasnya. Diantaranya adalah pembagian tugas. Yang perlu diperhatikan dalam azas pembagian tugas ini adalah kemampuan dari individu-individu yang diserahi tugas. Dengan demikian dalam suatu organisasi perlu adanya manajemen efektif yang mampu mengarahkan dan membina perilaku organisasi dan administrasi.
Dari uraian tersebut di atas, maka perilaku suatu organisasi dapat berpengaruh sangat besar dalam pencapaian tujuan/ visi dan misi suatu organisasi maupun dalam tatanan hidup di masyarakat. Robbins (2002). Menjelaskan perilaku organisasi berupaya mengetahui faktor-faktor penyebab perilaku seseorang atau kelompok. Penjelasan terhadap suatu fenomena dalam manajemen merupakan hal penting karena membantu para manajer atau pemimpin tim dalam melakukan sasaran lain yaitu mengendalikan situasi penyebab perilaku individu atau kelompok kerja tersebut.
Atas pemahaman tersebut, dapat diketahui bahwa manajemen dalam suatu organisasi merupakan suatu keahlian menggerakkan dan mengendalikan orang lain untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Dengan demikian aktifitas dari kegiatan organisasi ditentukan oleh peran seorang pemimpin dan dibantu oleh individu-individu yang menjadi bawahannya. Dan di setiap lembaga satuan pendidikan tentu mempunyai seorang kepala sekolah sebagai pemimpin dan guru, serta karyawan sebagai bawahannya.
Pemimpin oleh Winardi (2004:304) didefinisikan sebagai berikut :
“Pemimpin adalah seorang yang karena kecakapan-kecakapan pribadinya dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya untuk mengerahkan usaha bersama ke arah pencapaian sasaran-sasaran tertentu “.
Dari pendapat tersebut pengertian pemimpin mewujudkan adanya kemampuan untuk menggerakkan, membimbing, memimpin dan memberi kegairahan kerja terhadap orang lain. Jadi bila ditarik kesimpulan dari pendapat diatas, pemimpin adalah orang yang dapat mempengaruhi, menggerakkan, menumbuhkan perasaan ikut serta dan tanggung jawab, memberikan fasilitas, tauladan yang baik serta kegairahan kerja terhadap orang lain.
Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin di satuan pendidikan merupakan pemimpin formal, artinya dia diangkat secara formal (Formally Designated Leader) oleh organisasi yang bersangkutan atau organisasi yang menjadi atasannya.
Guru (pendidik) menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XI pasal 39 adalah :
“Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”.
Tenaga guru adalah salah satu tenaga kependidikan yang mempunyai peran sebagai faktor penentu keberhasilan tujuan organisasi selain tenaga kependidikan lainnya, karena guru yang langsung bersinggungan dengan peserta didik, untuk memberikan bimbingan yang muaranya akan menghasilkan tamatan/lulusan yang diharapkan. Untuk itu kinerja guru harus selalu ditingkatkan. Upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja itu biasanya dilakukan dengan cara memberikan motivasi, mengadakan supervisi, memberikan insentif, memberikan kesempatan yang baik untuk berkembang dalam karir, meningkatkan kemampuan, dan gaya kepemimpinan yang baik. Sementara kinerja guru dapat ditingkatkan apabila yang bersangkutan merasa senang dan cocok dengan gaya kepemimpinan yang terapkan oleh kepala sekolah.
Realitas menunjukan bahwa kreatifitas dan kinerja guru yang ada di sebuah lembaga pendidikan bergantung dari bagaimana peran seorang kepala sekolah dalam memberi kebijakan atau perintah kepada guru. Oleh karena itu kepala sekolah dituntut untuk menerapkan kepemimpinan secara benar dan konsekwen. Karena kepemimpinan inilah yang nantinya banyak mempengaruhi perilaku pengikut-pengikutnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis membuat makalah tentang Perilaku Organisasi dalam Kepemimpinan Pendidikan sebagai salah satu tugas mandiri yang diberikan dalam perkuliah program administrasi pendidikan di UHAMKA Jakarta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan penelitian maka dapat diajukan rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah Konsep Perilaku Organisasi yang dapat Diperankan kepala sekolah sebagai pimpinan pendidikan dalam mencapai dan mengelola sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional?”
C. Tujuan dan manfaat Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah, makalah ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana peran organisasi, pimpinan lembaga pendidikan dalam mengelola lembaga pendidikan dan sumber daya yang ada di dalamnya?
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi penulis sendiri adalah dapat secara langsung menerapkan ilmu-ilmu yang diperoleh selama menjalankan proses perkuliahan pasca sarjana administrasi pendidikan tentang kepemimpinan pendidikan dapat diaktualisasikan dengan baik.
2. Bagi pihak-pihak yang berkepentingan dapat dijadikan referensi untuk memperluas wawasan dan pengetahuan di bidang administrasi pendidikan.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Tujuan dan Fokus Perilaku Organisasi
Tujuan kajian perilaku organisasi pada dasarnya ada tiga, yaitu menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan perilaku manusia. Robbins (2002). Menjelaskan, kajian perilaku organisasi berupaya mengetahui faktor-faktor penyebab perilaku seseorang atau kelompok. Penjelasan terhadap suatu fenomena dalam manajemen merupakan hal penting karena membantu para manajer atau pemimpin tim dalam melakukan sasaran lain yaitu mengendalikan situasi penyebab perilaku individu atau kelompok kerja tersebut.
Sasaran kedua, yaitu meramalkan berarti perilaku organisasi membantu memprediksi kejadian organisasi di masa mendatang. Pengetahuan terhadap faktor-faktor penyebab munculnya perilaku individu atau kelompok membantu manajer meramalkan akibat-akibat dari suatu program atau kebijakan organisasi. Hal ini membantu melakukan pengendalian preventif terhadap perilaku individu dan kelompok dalam organisasi.
Sasaran ketiga yaitu mengendalikan mengandung arti bahwa perilaku organisasi menawarkan berbagai strategi dalam mengarahkan perilaku individu atau kelompok. Berbagai strategi kepemimpinan, motivasi, dan pengembangan tim kerja yang efektif merupakan contoh-contoh dalam mengarahkan perilaku individu dan kelompok.
Dalam bidang manajemen pendidikan, kajian tentang perilaku organisasi telah lama menjadi perhatian para pakar terutama karena organisasi pendidikan dicirikan oleh keterlibatan sejumlah besar manusia, mulai dari tenaga kependidikan, pendidik, siswa, orangtua dan masyarakat. Dengan kompleksitas itu pemahaman terhadap ilmu perilaku organisasi merupakan suatu hal yang penting khususnya bagi pengelola dalam meningkatkan kinerja organisasi pendidikan.
Secara umum, perilaku organisasi memiliki dua fokus perhatian. Pertama, perilaku organisasi merupakan suatu bidang studi yang mempelajari dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetahuan tentang hal-hal tersebut demi peningkatan keefektifan organisasi (Robbins, 2003). Perilaku organisasi mempelajari tiga determinan perilaku dalam organisasi, yaitu individu, kelompok, dan struktur atau organisasi. Singkatnya, perilaku organisasi merupakan kajian terhadap apa yang dilakukan orang dalam organisasi dan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kinerja organisasi tersebut. Tingkat analisis perilaku organisasi tersebut digambarkan sebagai berikut.
Gambar
Tingkat Analisis Perilaku Organisasi
(Tyson dan Jackson, 1992).
Dalam konteks analisis yang digambarkan tersebut, Tyson dan Jackson (1992) mengemukakan bahwa kajian perilaku organisasi didasarkan pada pentingnya memahami apa yang terjadi pada individu-individu dalam organisasi dan apa penyebab perilaku mereka. Dengan kata lain, perilaku organisasi berkaitan dengan ketergantungan: kinerja organisasi tergantung bagaimana kinerja kelompok kerja, sedangkan kinerja kelompok kerja tergantung pada kinerja individu.
Fokus kedua adalah perilaku organisasi sebagai kajian antar disiplin ilmu yang diarahkan untuk mempelajari sikap, perilaku, dan kinerja individu dalam organisasi (Daft, 2000). Sebagai suatu kajian antardisiplin, perilaku organisasi menggunakan konsep dan teori dari disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, pendidikan dan juga manajemen serta disiplin ilmu lainnya. Konsep dan teori-teori tersebut penting artinya dalam membantu manajer memahami perilaku manusia dalam organisasi. Pemahaman terhadap perilaku manusia penting agar manajer mampu menerapkan pendekatan yang tepat dalam memberdayakan manusia bagi keefektifan organisasi.
B. Pendekatan Antardisiplin dalam Perilaku Organisasi
Berdasarkan fokus kedua Robbins (2003) mengemukakan bahwa perilaku organisasi merupakan ilmu terapan yang dibangun dengan dukungan sejumlah disiplin ilmu, seperti psikologi, sosiologi, psikologi sosial, antropologi, dan ilmu politik. Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha mengukur, menjelaskan, dan mengubah perilaku manusia. Sumbangan terpenting dari ilmu psikologi terhadap perilaku organisasi adalah kajian tentang pembelajaran, motivasi, kepribadian, persepsi, pelatihan, keefektifan kepemimpinan, kepuasan kerja, pengambilan keputusan individu, penilaian kinerja, pengukuran sikap, seleksi karyawan, disain kerja, dan stres kerja.
Sumbangan terpenting psikologi terhadap perilaku organisasi terutama berkaitan dengan tiga hal: motivasi, keefektifan kepemimpinan, dan stres kerja. Motivasi berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan yang menggerakkan individu. Dalam bidang pendidikan, motivasi menjadi kajian yang lebih kompleks lagi karena berkaitan dengan beragamnya status manusia di dalamnya seperti guru, siswa, kepala sekolah, dan personil lainnya.
Konsep disiplin telah membantu organisasi dalam memahami motivasi manusia dalam organisasi. Seiring dengan perkembangan teori manajemen, juga terjadi perubahan dalam pendekatan motivasi. Perkembangan teori motivasi tersebut berawal dari pendekatan tradisional, pendekatan ekonomi, pendekatan sumber daya manusia hingga ke pendekatan kontemporer (Daft, 2000). Pandangan tradisional mengemukakan bahwa cara memotivasi seseorang diibaratkan dengan bagaimana keledai digerakkan.
Menurut pendekatan ini, cara terbaik untuk memacu keledai adalah dengan mengikat wortel pada ujung cemeti dan menggoyang-goyangkannya di luar jangkauan keledai itu. Pemikian Frederick W. Taylor yang merupakan tokoh manajemen ilmiah menjadi landasan pendekatan ini. Taylor mengembangkan pola manajemen yang didasarkan atas prinsip-prinsip ilmiah untuk mencapai efisiensi organisasi. Berdasarkan hal tersebut, sistem penghargaan yang bersifat finansial diberikan bagi karyawan yang memiliki kinerja yang tinggi dan sebaliknya, hukuman diberikan kepada karyawan yang memiliki kinerja rendah. Pendekatan ini pada gilirannya menjadi dasar bagi pengembangan sistem penggajian yang membayar gaji karyawan secara ketat berdasarkan kuantitas dan kualitas hasil kerja mereka.
Pendekatan ekonomi tidak cukup untuk menjelaskan motivasi karyawan. Penelitian Hawthorne oleh Elton Mayo mengungkapkan bahwa faktor-faktor nonekonomi seperti kerja sama, hubungan pribadi, dan kepaduan kelompok kerja jauh lebih penting daripada uang sebagai motivator perilaku kerja. Berdasarkan hal itu pendekatan ini memandang penting penciptaan kondisi-kondisi sosial yang mendukung di tempat kerja sebagai salah satu motivator karyawan.
Pada perkembangan selanjutnya, pendekatan sumber daya manusia lahir untuk menggabungkan pendekatan ekonomi dan pendekatan hubungan manusia dalam upaya menjelaskan perilaku karyawan sebagai pribadi yang utuh. Pendekatan ini menganggap bahwa pendekatan sebelumnya cenderung memanipulasi karyawan melalui penghargaan ekonomi atau hubungan sosial. Menurut pendekatan sumber daya manusia, manusia merupakan pribadi yang kompleks dan karena itu dimotivasi oleh berbagai faktor. Manusia pada dasarnya suka bekerja tidak peduli ada tidaknya motivator.
Perkembangan terakhir dari kajian motivasi kerja adalah pendekatan kontemporer. Pendekatan ini dipengaruhi oleh tiga tipe teori. Pertama, teori isi, yang menekankan pada analisis yang mendasari kebutuhan manusia. Teori isi memberikan pemahaman akan kebutuhan manusia dalam organisasi dan membantu manajer memahami bagaimana kebutuhan tersebut dapat dipuaskan di tempat kerja. Kedua, teori proses, yang memusatkan perhatian terhadap proses yang memengaruhi perilaku karyawan. Tipe teori ini memfokuskan perhatian pada bagaimana karyawan berupaya mendapatkan kepuasan di tempat kerja. Ketiga, teori penguatan, memfokuskan pada hasil perilaku karyawan sebagaimana diharapkan atau bagaimana perilaku yang ditunjukkan dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik.
C. Epektifitas Kepemimpinan
Efektifitas kepemimpinan menjadi salah satu tanggung jawab perilaku organisasi. Kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi individu atau kelompok agar secara sadar dan secara harmonis bekerja untuk mencapai tujuan organisasi. Kata “sadar” menunjukkan bahwa kepemimpinan didasarkan oleh kerelaan dan bukan paksaan. Hal ini berbeda dengan kekuasaan yang diterima sebagai suatu keterpaksaan.
Pengakuan terhadap pentingnya variabel kepemimpinan dalam organisasi telah menjadi dasar analisis para ahli dari berbagai kalangan. Dari analisis itu terungkap pentingnya strategi kepemimpinan yang dirumuskan dalam berbagai bentuk perilaku kepemimpinan yang efektif. Teori kepemimpinan perilaku (Hersey & Blanchard, 1982) yang sudah lama dikenal misalnya, memandang kepemimpinan yang efektif (yang mendorong kinerja bawahan) adalah kepemimpinan yang memperhatikan dua aspek secara bersamaan: orientasi terhadap tugas dan orientasi terhadap manusia. Orientasi terhadap tugas melahirkan kepemimpinan yang memiliki visi yang jelas, tugas yang jelas dan sistem komunikasi yang permanen. Orientasi terhadap manusia melahirkan kepemimpinan kesejawatan; kemauan pemimpin mendengarkan suara hati bawahan, memanusiakan bawahan dan mendorong partisipasi bawahan dalam berbagai aspek kehidupan organisasi. Banyak bukti menunjukkan bahwa penerapan kepemimpinan partisipatif meningkatkan komitmen bawahan terhadap tugas dan pada gilirannya meningkatkan kinerja mereka.
Secara lebih spesifik, dimensi hubungan manusia dicirikan oleh tiga aspek: (1) pemimpin menyiapkan waktu untuk mendengarkan anggota kelompoknya, (2) pemimpin berkeinginan membuat perubahan, (3) pemimpin yang bersifat bersahabat dan dekat dengan bawahan. Dimensi tugas dicirikan oleh: (1) pemimpin yang selalu memberikan tugas kepada anggota kelompok, (2) pemimpin menetapkan standar dan peraturan yang harus diikuti oleh anggota kelompok, (3) pemimpin mengharapkan anggota untuk mengetahui apa yang diharapkan dari mereka. Perpaduan kedua dimensi perilaku tersebut menciptakan kombinasi perilaku kepemimpinan yang tergambar pada kuadran berikut.
(Tinggi)
Orientasi Hubungan Manusia
(Rendah) 1-9
Tinggi
Orientasi Hubungan Manusia
Rendah
Orientasi Tugas
9-9
Tinggi
Orientasi Hubungan Manusia
Tinggi
Orientasi Tugas
Rendah
Orientasi Hubungan Manusia
Rendah
Orientasi Tugas
1-1
Rendah
Orientasi Hubungan Manusia
Tinggi
Orientasi Tugas
9-1
(Rendah) Orientasi Tugas (Tinggi)
Gambar 2: Kombinasi Perilaku Kepemimpinan
(Hersey dan Blanchard, 1982)
Berdasarkan kuadran tersebut, tampak bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin 9-9, yaitu yang tinggi pada dimensi hubungan manusia dan juga tinggi pada dimensi tugas. Perilaku kepemimpinan yang demikian sering juga disebut dengan perilaku kepemimpinan tim. Pemimpin yang kurang efektif adalah pemimpin 1-1, yaitu yang rendah pada kedua dimensi.
Beberapa penulis lainnya juga mengemukakan strategi kepemimpinan. Farkas dan Backer (1996) mengembangkan gagasan tentang Maximum Leadership yang meliputi lima pendekatan: pendekatan strategik, pendekatan aset manusia, pendekatan keahlian, pendekatan kontrol, dan pendekatan agen perubahan.
Stephen R. Covey (1991) juga mengembangkan strategi kepemimpinan yang disebut sebagai kepemimpin yang berprinsip (Principle Centered Leadership) yang salah satu strateginya adalah orientasi kepada pelanggan. Strategi ini juga diadaptasi oleh Blaine Lee (1997) dalam istilah Kekuasan yang Berperinsip (Principle-Centered Power). Kedua pendekatan ini mementingkan kapabilitas dan kebajikan dalam kepemimpinan.
Paul Brich (1999) mengembangkan strategi Instant Leadership dengan 66 cara kekepimpinan yang praktis. Di luar dari hal-hal yang betul-betul praktis, terdapat strategi inti yang dikemukakannya yaitu bahwa pemimpin terbaik adalah orang yang memungkinkan terpenuhinya tuntutan yang tadinya dianggap mustahil dan kemudian menawarkan dukungan penuh yang tadinya dianggap tidak mungkin. Intinya, kepemimpinan berkaitan dengan tantangan dan dukungan.
John C. Maxwell (1995) mengembangkan prinsip dasar kepemimpinan yang antara lain meliputi: penyusunan prioritas, integritas, menciptakan perubahan positif, pemecahan masalah, sikap positif, pengembangan aset manusia, wawasan, dan disiplin pribadi.
Selain psikologi, yang ikut mempengaruhi perilaku organisasi adalah masalah stres kerja. Istilah stres kerja digunakan untuk menunjukkan keadaan tertekan yang di¬alarm individu yang disebabkan oleh kondisi atau situasi tertentu yang terjadi di ling¬kungan kerjanya. Istilah itu membedakannya dengan jenis stres hidup lainnya yang bersumber dari lingkungan keluarga dan lingkungan sosial (Robbins, 1990). Kontribusi itu terutama dalam menjelaskan konsep stres kerja yang didasarkan pada tiga pendekatan dalam mengkaji stres, yaitu: pendekatan fisiologik, pendekatan stimulus, dan pendekatan psikologik (Cox & Ferguson, 1991). Pendekatan fisiologik berpijak pada konsep stres yang dikemukakan oleh Selye. Selye (1985) mengemukakan bahwa stress adalah respon umum tubuh terhadap suatu tuntutan. Definisi itu, didasarkan pa¬da indikator obyektif seperti perubahan jasmani dan kimiawi yang muncul sesudah adanya tuntutan atau tekanan dari lingkungan.
Menurut Selye, perubahan-perubahan itu terjadi dalam serangkaian reaksi fisiologik yang disebut The General Adaptation Syndrome atau Sindrom Adaptasi Umum yang terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap reaksi alarm, tahap perlawanan, dan tahap keletihan. Bila suatu situasi mengancam keamanan atau kesehatan individu, maka akan segera terjadi reaksi alarm. Jika indi¬vidu dapat bertahan, reaksi awal ini kemudian diikuti oleh tahap kedua, yaitu perla¬wanan terhadap situasi yang mengancam itu. Jika stres berkepanjangan, maka tahap keletihan akan terjadi, di mana kemampuan untuk mengatasi stres menurun. Tahap ini diikuti oleh munculnya penyakit biologis.
Pendekatan stimulus menekankan perlunya diperhatikan peristiwa eksternal yang menyebabkan stres (Baron & Greenberg, 1990). Stimulus berupa peristiwa eks¬ternal yang menyebabkan munculnya tuntutan terhadap individu untuk beradaptasi, mengatasi atau menyesuaikan diri (Sowa, dkk., 1986). Menurut pendekatan ini, ba¬nyak peristiwa eksternal yang potensial menyebabkan stres memiliki sifat-sifat beri¬kut: (1) mempunyai pengaruh yang sangat kuat sehingga bisa menyebabkan individu mengalami kelebihan beban fisik maupun mental, (2) potensial terhadap timbulnya keadaan yang tidak serasi pada individu, dan (3) berada di luar pengendalian individu (Baron & Greenberg, 1990).
Pendekatan psikologik atau penilaian kognitif (cognitive appraisal) diilhami oleh pemikiran Lazarus dan kawan-kawan yang memperkenalkan teori kognitif da¬lam mengkaji fenomena stres. Aspek kunci dari pendekatan itu adalah "penilaian kognitif individu.” Menurut Lazarus dan Folkman (1986), stres merupakan "a rela¬tionship with the environment that the person appraises as significant for his or her well-being and in which the demands tax or exceed available coping resources" (h. 63).
Penilaian kognitif meliputi dua dimensi: penilaian primer dan penilaian se¬kunder (Cox & Ferguson, 1991). Penilaian primer berkenaan dengan penilaian indi¬vidu untuk menentukan apakah suatu stimulus atau situasi membahayakan, meng¬ancam, atau menantang, sedangkan penilaian sekunder berkenaan dengan penilaian individu terhadap kemampuannya mengatasi stimulus tersebut. Dari perspektif itu stres terjadi manakala terdapat ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian yang sangat berarti antara persepsi individu terhadap suatu tuntutan yang dihadapinya dan ke¬mampuannya mengatasi tuntutan tersebut. Dengan kata lain stres terjadi apabila in¬dividu merasakan: (1) bahwa suatu situasi atau tuntutan mengancam tujuan penting individu, dan (2) bahwa individu tidak mampu mengatasi situasi potensial tersebut (Lazarus & Folkman, 1986).
Pendekatan itu juga memandang bahwa suatu situasi yang terjadi dapat me¬nimbulkan reaksi stres yang berbeda pada setiap individu (Cox & Ferguson, 1991). Perbe¬daan reaksi stres ini disebabkan oleh pengaruh perbedaan individu dalam proses pe¬nilaian kognitif yang terjadi dalam dua rangkaian penilaian. Pertama, dalam penilaian primer, perbedaan individu berperan dalam hubungannya dengan persepsi individu terhadap tuntutan dan tekan¬an pekerjaan. Kedua, dalam penilaian sekunder, kemampuan individu dalam meng¬atasi tuntutan tersebut bervariasi. Secara rinci, Fletcher (1991) mengemukakan bah¬wa terjadinya perbedaan reaksi atau respon stres pada setiap individu disebabkan oleh: (1) perbedaan keadaan individu, (2) perbedaan dalam melihat dunia, dan (3) perbedaan kecondongan (bias) dan sistem fungsional individu.
Dengan menggunakan pendekatan penilaian kognitif tersebut saya telah melakukan penelitian untuk mengetahui fenomena stres kerja guru (Arismunandar, 1998, 2003). Kesimpulan-kesimpulan penelitian tersebut menunjukkan hal-hal sebagai berikut.
a. Sumber-sumber stres kerja yang seringkali dihadapi guru adalah: (1) potongan gaji, (2) kenaikan pangkat/jabatan yang tertunda, (3) siswa yang berperilaku buruk, (4) konflik dengan personil lain, (5) lingkungan sekolah yang terlalu bising, dan (6) kurangnya motivasi, perhatian, dan respon siswa terhadap pelajaran.
b. Persentase guru di Sulawesi Selatan yang mengalami stres serius (tinggi dan sangat tinggi) cukup besar, yaitu 30,27 persen, sedangkan guru yang mengalami stres kerja sedang sebesar 48,11 persen dan yang mengalami stres kerja kurang serius hanya 21,62 persen.
c. Stres kerja berpengaruh terhadap kinerja guru. Pengaruh stres kerja tersebut terjadi dalam mekanisme berikut: stres kerja yang berada pada level sedang dapat meningkatkan kinerja individu (Davis & Newstrom, 1989). Stres kerja yang serius dan kurang serius tidak meningkatkan kinerja individu.
d. Individu yang lebih muda, wanita, memiliki perilaku tipe A, individu yang memiliki dukungan sosial rendah, dan individu yang memiliki lokus kendali eksternal mengalami stres lebih tinggi dibanding mereka yang berusia tua, pria, individu tipe B, yang memiliki dukungan sosial tinggi, dan yang memiliki lokus kendali internal.
D. Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sebagaimana sekolah dipahami sebagai suatu organisasi, kepemimpinan dan manajemen menjadi menarik untuk kaji. Sebagai suatu organisasi, sekolah memerlukan tidak hanya seorang manajer untuk mengelola sumber daya sekolah, yang lebih banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan adminstratif lainnya, melainkan juga memerlukan pemimpin yang mampu menciptakan sebuah visi dan mengilhami staf dan semua komponen individu yang terkait dengan sekolah. Wacana ini mengimplikasikan bahwa baik pemimpin maupun manajer diperlukan dalam pengelolaan sekolah.
Berbeda dengan organisasi lain, sekolah merupakan bentuk organisasi moral, yang berbeda dengan bentuk organisasi lainnya, terutama yang berorientasi pada keuntungan (laba). Sebagai suatu organisasi, menurut Rumtini Iksan (http://www.depdiknas.go.id: 2005) kesuksesannya tidak hanya ditentukan oleh kepala sekolah melainkan juga oleh tenaga kependidikan lainnya dan proses sekolah itu sendiri. Hal tersebut membawa konsekuensi logis bahwa kepala sekolah berkewajiban mengkoordinasikan ketenagaan di sekolah untuk menjamin terimplementasikannya peraturan dan perundangan sekolah. Dalam perannya tersebut, kepala sekolah dapat berfungsi sebagai motivator, direktur, dan evaluator.
Kepala sekolah adalah pemimpin pada satu lembaga satuan pendidikan. Tanpa kehadiran kepala sekolah proses pendidikan termasuk pembelajaran tidak akan berjalan efektif. Kepala sekolah adalah pemimpin yang proses keberadaannya dapat dipilih secara langsung, ditetapkan oleh yayasan, atau ditetapkan oleh pemerintah. Menurut Awaludin Hamzah (http://www.pikiran-rakyat.com: 25 Oktober 2004) Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi kepala sekolah yaitu :
1. Aspek Akseptabilitas
Akseptabilitas adalah aspek mengandalkan dukungan riil dari komunitas yang dipimpinnya. Seorang kepala sekolah harus mendapat dukungan dari guru-guru dan karyawan lembaga yang bersangkutan sebagai komunitas formal yang dipimpinnya. Dukungan ini juga secara nonformal harus mendapat pula dari masyarakat pendidikan termasuk komite sekolah sebagai wadah organisasi orang tua/wali siswa.
Seorang kepala sekolah sah menjadi pemimpin apabila mendapat dukungan riil dari masyarakat yang dipimpinnya, hal ini untuk memudahkan kinerja tugas serta menghindarkan dari sikap apriori atau pembangkangan dari yang dipimpinnya. Sesungguhnya jika seseorang yang memimpin tidak dikehendaki oleh yang dipimpin akan menimbulkan ketidakserasian dalam pelaksanaan tugas.
Aspek akseptabilitas ini dalam teori organisasi disebut legitimasi (pengakuan) yakni kelayakan seorang pemimpin untuk diakui dan diterima keberadaannya oleh mereka yang dipimpin. Untuk mendapatkan legitimasi, sebaiknya kepala sekolah dipilih langsung oleh guru-guru.
Hanya orang yang dipilih melalui proses pemilihan seperti ini biasanya seorang pemimpin mendapat dukungan yang nyata. Tentunya melalui tahapan seleksi yang ketat tidak asal memilih. Kepemimpinan seperti ini akan memiliki legitimasi yang sangat kuat jika melalui proses pemilihan langsung yang dilaksanakan secara adil, jujur, dan transparan.
2. Aspek kapabilitas
Aspek kapabilitas menyangkut kompetensi (kemampuan) untuk menjalankan kepemimpinan. Untuk menjadi kepala sekolah tidak hanya cukup mendapat pengakuan dari guru-guru sebagai pendukungnya tapi juga harus memiliki kemampuan memimpin.
Selain itu, memiliki kemampuan dalam mengelola sumber daya yang ada dari orang-orang yang dipimpinnya agar tidak menimbulkan konflik. Kapabilitas ini sangat diperlukan bagi seorang kepala sekolah, melalui pengalaman yang cukup memadai serta pengetahuan mengenai manajemen sekolah dan pendidikan lainnya. Apabila kepala sekolah tidak memiliki kemampuan dalam mengelola dapat dipastikan lembaga yang dipimpinnya tidak akan berjalan efektif dan ada kemungkinan berantakan. Konflik biasanya muncul karena adanya berbagai kepentingan dan gagasan yang kurang terakomodasi dengan sempurna. Apabila konflik ini dikelola dengan baik serta mengakomodasi hal-hal yang secara realistis dapat dilaksanakan, akan melahirkan sebuah kesepakatan dan pemahaman yang akan terasa elok apabila dilaksanakan secara bersama dengan penuh tanggung jawab.
3. Aspek integritas
Aspek integritas adalah sebuah persyaratan yang sempurna apabila aspek akseptabilits dan kapabilitas terpenuhi. Dengan persyaratan ini seorang kepala sekolah dapat menghasilkan produk kepemimpinan yang sempurna dan diterima oleh khalayak.
Secara sederhana, integritas artinya komitmen moral dan berpegang teguh terhadap aturan main yang telah disepakati sesuai dengan peraturan dan norma yang semestinya berlaku. Faktor ini akan menentukan wibawa dan tidaknya seorang kepala sekolah.
Suatu penghargaan akan diberikan terhadap seorang pemimpin apabila memegang teguh janjinya serta komitmennya terhadap sesuatu yang telah disepakatinya. Jadi, integritas adalah menyangkut konsistensi dalam memegang teguh aturan main atau norma-norma yang berlaku di dunia pendidikan.
Selain tiga persyaratan tersebut, kepala sekolah sebagai seorang manajer di lembaga pendidikan juga harus memiliki tiga kecerdasan pokok, yaitu : kecerdasan profesional, kecerdasan personal dan kecerdasan manajerial agar dapat bekerja sama dan mengerjakan sesuatu dengan orang lain. Rosyada (2004:240-242) mengklasifikasikan kemampuan manajerial yang harus dipertimbangkan sebagai langkah awal mengerjakan berbagai tugas manajerial, yaitu :
a. Kemampuan mencipta, yang meliputi : selalu mempunyai ide-ide bagus, selalu memperoleh solusi-solusi untuk berbagai problem yang biasa dihadapi, mampu mengantisipasi berbagai konsekuensi dari pelaksanaan berbagai keputusan dan mampu mempergunakan kemampuan berfikir imajinatif (lateral thingking) untuk menghubungkan sesuatu dengan yang lainnya yang tidak bisa muncul dari analisis dan pemikiran-pemikiran empirik.
b. Kemampuan membuat perencanaan, yang meliputi : mampu menghubungkan kenyataan sekarang dan hari esok, mampu mengenali apa-apa yang penting saat itu dan apa-apa yang benar-benar mendesak, mempu mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan mendatang, dan mampu melakukan analisis.
c. Kemampuan mengorganisasi, yang meliputi : mampu mendistribusikan tugas dan tanggung jawab yang adil, mampu membuat putusan secara tepat, selalu bersikap tenang dalam menghadapi kesulitan, mampu mengenali pekerjaan itu sudah selesai dan sempurna dikerjakan.
d. Kemampuan berkomunikasi, yang meliputi: mampu memahami orang lain, mampu dan mau mendengarkan orang lain, mampu menjelaskan sesuatu pada orang lain, mampu berkomunikasi melalui tulisan, mampu membuat orang lain berbicara, mampu mengucapkan terima kasih pada orang lain , selalu mendorong orang lain untuk maju dan selalu mengikuti dan memanfaatkan tekhnologi informasi.
e. kemampuan memberi motivasi, yang meliputi : mampu memberi inspirasi pada orang lain, nyampaikan tantangan yang realistis, membantu orang lain untuk mencapai tujuan dan target, membantu orang lain untuk menilai kontribusi dan pencapaiannya sendiri.
f. Kemampuan melakukan evaluasi, yang meliputi : mampu membandingkan antara hasil yang dicapai dengan tujuan, mampu melakukan evaluasi diri, mampu melakukan evaluasi terhadap pekerjaan orang lain, dan mampu melakukan tindakan pembenaran saat diperlukan.
BAB III
KESIMPULAN
Tujuan kajian perilaku organisasi pada dasarnya ada tiga, yaitu menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan perilaku manusia. Robbins (2002). Menjelaskan, kajian perilaku organisasi berupaya mengetahui faktor-faktor penyebab perilaku seseorang atau kelompok. Penjelasan terhadap suatu fenomena dalam manajemen merupakan hal penting karena membantu para manajer atau pemimpin tim dalam melakukan sasaran lain yaitu mengendalikan situasi penyebab perilaku individu atau kelompok kerja tersebut.
Sasaran kedua, yaitu meramalkan berarti perilaku organisasi membantu memprediksi kejadian organisasi di masa mendatang. Pengetahuan terhadap faktor-faktor penyebab munculnya perilaku individu atau kelompok membantu manajer meramalkan akibat-akibat dari suatu program atau kebijakan organisasi. Hal ini membantu melakukan pengendalian preventif terhadap perilaku individu dan kelompok dalam organisasi.
Sasaran ketiga yaitu mengendalikan mengandung arti bahwa perilaku organisasi menawarkan berbagai strategi dalam mengarahkan perilaku individu atau kelompok. Berbagai strategi kepemimpinan, motivasi, dan pengembangan tim kerja yang efektif merupakan contoh-contoh dalam mengarahkan perilaku individu dan kelompok.
Berhasil atau tidaknya organisasi mencapai visi dan misinya juga dipengaruhi oleh perilaku kepemimpinan dalam organisasi seperti: “membuat keputusan, menetapkan sasaran, memilih dan mengembangkan personalia, mengadakan komunikasi, memberikan motivasi, dan mengawasi pelaksanaan manajemen”.
Wallohu alam bissowab.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pencapaian visi, misi dan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan bersama oleh warga sekolah, diperlukan kondisi sekolah yang kondusif dan keharmonisan antara tenaga pendidikan yang ada di sekolah antara lain kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, dan orang tua murid/masyarakat yang masing-masing mempunyai peran yang cukup besar dalam mencapai tujuan organisasi.
Suatu organisasi akan berhasil dalam mencapai tujuan dan program-programnya jika orang-orang yang bekerja dalam organisasi tersebut dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik sesuai dengan bidang dan tanggung jawabnya. Agar orang-orang dalam organisasi tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka diperlukan seorang pemimpin yang dapat mengarahkan segala sumber daya dan membawa organisasi pendidikan (sekolah) menuju ke arah pencapaian tujuan.
Dalam suatu organisasi, berhasil atau tidaknya tujuan tersebut sangat dipengaruhi oleh factor-faktor seperti pemimpin dan orang yang dipimpinnya, serta perilaku organisasi yang dijalankannya. Agar organisasi dan kepemimpinan yang dilaksanakan oleh pemimpin dalam organisasi dapat berjalan secara efektif dan efesien, salah satu tugas yang harus dilakukan adalah mengawal dan mengarahkan perilaku organisasi dalam memberikan kepuasan kepada orang yang dipimpinnya/ yang menjadi costumernya.
Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin di lingkungan satuan pendidikan harus mampu mewujudkan tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Kepemimpinan dalam lingkungan satuan pendidikan selalu melibatkan upaya seorang kepala sekolah untuk mempengaruhi perilaku organisasi, para pengikut/guru dalam suatu situasi. Agar kepala sekolah dapat melaksanakan fungsi kepemimpinannya, dia bukan saja harus memiliki wibawa tetapi harus memiliki kesanggupan untuk menggunakan wibawa ini terhadap para guru supaya diperoleh kinerja guru yang baik.
Dalam sebuah organisasi perlu ditetapkan arah perilaku organisasi dan azas-azasnya. Diantaranya adalah pembagian tugas. Yang perlu diperhatikan dalam azas pembagian tugas ini adalah kemampuan dari individu-individu yang diserahi tugas. Dengan demikian dalam suatu organisasi perlu adanya manajemen efektif yang mampu mengarahkan dan membina perilaku organisasi dan administrasi.
Dari uraian tersebut di atas, maka perilaku suatu organisasi dapat berpengaruh sangat besar dalam pencapaian tujuan/ visi dan misi suatu organisasi maupun dalam tatanan hidup di masyarakat. Robbins (2002). Menjelaskan perilaku organisasi berupaya mengetahui faktor-faktor penyebab perilaku seseorang atau kelompok. Penjelasan terhadap suatu fenomena dalam manajemen merupakan hal penting karena membantu para manajer atau pemimpin tim dalam melakukan sasaran lain yaitu mengendalikan situasi penyebab perilaku individu atau kelompok kerja tersebut.
Atas pemahaman tersebut, dapat diketahui bahwa manajemen dalam suatu organisasi merupakan suatu keahlian menggerakkan dan mengendalikan orang lain untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Dengan demikian aktifitas dari kegiatan organisasi ditentukan oleh peran seorang pemimpin dan dibantu oleh individu-individu yang menjadi bawahannya. Dan di setiap lembaga satuan pendidikan tentu mempunyai seorang kepala sekolah sebagai pemimpin dan guru, serta karyawan sebagai bawahannya.
Pemimpin oleh Winardi (2004:304) didefinisikan sebagai berikut :
“Pemimpin adalah seorang yang karena kecakapan-kecakapan pribadinya dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya untuk mengerahkan usaha bersama ke arah pencapaian sasaran-sasaran tertentu “.
Dari pendapat tersebut pengertian pemimpin mewujudkan adanya kemampuan untuk menggerakkan, membimbing, memimpin dan memberi kegairahan kerja terhadap orang lain. Jadi bila ditarik kesimpulan dari pendapat diatas, pemimpin adalah orang yang dapat mempengaruhi, menggerakkan, menumbuhkan perasaan ikut serta dan tanggung jawab, memberikan fasilitas, tauladan yang baik serta kegairahan kerja terhadap orang lain.
Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin di satuan pendidikan merupakan pemimpin formal, artinya dia diangkat secara formal (Formally Designated Leader) oleh organisasi yang bersangkutan atau organisasi yang menjadi atasannya.
Guru (pendidik) menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XI pasal 39 adalah :
“Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”.
Tenaga guru adalah salah satu tenaga kependidikan yang mempunyai peran sebagai faktor penentu keberhasilan tujuan organisasi selain tenaga kependidikan lainnya, karena guru yang langsung bersinggungan dengan peserta didik, untuk memberikan bimbingan yang muaranya akan menghasilkan tamatan/lulusan yang diharapkan. Untuk itu kinerja guru harus selalu ditingkatkan. Upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja itu biasanya dilakukan dengan cara memberikan motivasi, mengadakan supervisi, memberikan insentif, memberikan kesempatan yang baik untuk berkembang dalam karir, meningkatkan kemampuan, dan gaya kepemimpinan yang baik. Sementara kinerja guru dapat ditingkatkan apabila yang bersangkutan merasa senang dan cocok dengan gaya kepemimpinan yang terapkan oleh kepala sekolah.
Realitas menunjukan bahwa kreatifitas dan kinerja guru yang ada di sebuah lembaga pendidikan bergantung dari bagaimana peran seorang kepala sekolah dalam memberi kebijakan atau perintah kepada guru. Oleh karena itu kepala sekolah dituntut untuk menerapkan kepemimpinan secara benar dan konsekwen. Karena kepemimpinan inilah yang nantinya banyak mempengaruhi perilaku pengikut-pengikutnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis membuat makalah tentang Perilaku Organisasi dalam Kepemimpinan Pendidikan sebagai salah satu tugas mandiri yang diberikan dalam perkuliah program administrasi pendidikan di UHAMKA Jakarta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan penelitian maka dapat diajukan rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah Konsep Perilaku Organisasi yang dapat Diperankan kepala sekolah sebagai pimpinan pendidikan dalam mencapai dan mengelola sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional?”
C. Tujuan dan manfaat Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah, makalah ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana peran organisasi, pimpinan lembaga pendidikan dalam mengelola lembaga pendidikan dan sumber daya yang ada di dalamnya?
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi penulis sendiri adalah dapat secara langsung menerapkan ilmu-ilmu yang diperoleh selama menjalankan proses perkuliahan pasca sarjana administrasi pendidikan tentang kepemimpinan pendidikan dapat diaktualisasikan dengan baik.
2. Bagi pihak-pihak yang berkepentingan dapat dijadikan referensi untuk memperluas wawasan dan pengetahuan di bidang administrasi pendidikan.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Tujuan dan Fokus Perilaku Organisasi
Tujuan kajian perilaku organisasi pada dasarnya ada tiga, yaitu menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan perilaku manusia. Robbins (2002). Menjelaskan, kajian perilaku organisasi berupaya mengetahui faktor-faktor penyebab perilaku seseorang atau kelompok. Penjelasan terhadap suatu fenomena dalam manajemen merupakan hal penting karena membantu para manajer atau pemimpin tim dalam melakukan sasaran lain yaitu mengendalikan situasi penyebab perilaku individu atau kelompok kerja tersebut.
Sasaran kedua, yaitu meramalkan berarti perilaku organisasi membantu memprediksi kejadian organisasi di masa mendatang. Pengetahuan terhadap faktor-faktor penyebab munculnya perilaku individu atau kelompok membantu manajer meramalkan akibat-akibat dari suatu program atau kebijakan organisasi. Hal ini membantu melakukan pengendalian preventif terhadap perilaku individu dan kelompok dalam organisasi.
Sasaran ketiga yaitu mengendalikan mengandung arti bahwa perilaku organisasi menawarkan berbagai strategi dalam mengarahkan perilaku individu atau kelompok. Berbagai strategi kepemimpinan, motivasi, dan pengembangan tim kerja yang efektif merupakan contoh-contoh dalam mengarahkan perilaku individu dan kelompok.
Dalam bidang manajemen pendidikan, kajian tentang perilaku organisasi telah lama menjadi perhatian para pakar terutama karena organisasi pendidikan dicirikan oleh keterlibatan sejumlah besar manusia, mulai dari tenaga kependidikan, pendidik, siswa, orangtua dan masyarakat. Dengan kompleksitas itu pemahaman terhadap ilmu perilaku organisasi merupakan suatu hal yang penting khususnya bagi pengelola dalam meningkatkan kinerja organisasi pendidikan.
Secara umum, perilaku organisasi memiliki dua fokus perhatian. Pertama, perilaku organisasi merupakan suatu bidang studi yang mempelajari dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetahuan tentang hal-hal tersebut demi peningkatan keefektifan organisasi (Robbins, 2003). Perilaku organisasi mempelajari tiga determinan perilaku dalam organisasi, yaitu individu, kelompok, dan struktur atau organisasi. Singkatnya, perilaku organisasi merupakan kajian terhadap apa yang dilakukan orang dalam organisasi dan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kinerja organisasi tersebut. Tingkat analisis perilaku organisasi tersebut digambarkan sebagai berikut.
Gambar
Tingkat Analisis Perilaku Organisasi
(Tyson dan Jackson, 1992).
Dalam konteks analisis yang digambarkan tersebut, Tyson dan Jackson (1992) mengemukakan bahwa kajian perilaku organisasi didasarkan pada pentingnya memahami apa yang terjadi pada individu-individu dalam organisasi dan apa penyebab perilaku mereka. Dengan kata lain, perilaku organisasi berkaitan dengan ketergantungan: kinerja organisasi tergantung bagaimana kinerja kelompok kerja, sedangkan kinerja kelompok kerja tergantung pada kinerja individu.
Fokus kedua adalah perilaku organisasi sebagai kajian antar disiplin ilmu yang diarahkan untuk mempelajari sikap, perilaku, dan kinerja individu dalam organisasi (Daft, 2000). Sebagai suatu kajian antardisiplin, perilaku organisasi menggunakan konsep dan teori dari disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, pendidikan dan juga manajemen serta disiplin ilmu lainnya. Konsep dan teori-teori tersebut penting artinya dalam membantu manajer memahami perilaku manusia dalam organisasi. Pemahaman terhadap perilaku manusia penting agar manajer mampu menerapkan pendekatan yang tepat dalam memberdayakan manusia bagi keefektifan organisasi.
B. Pendekatan Antardisiplin dalam Perilaku Organisasi
Berdasarkan fokus kedua Robbins (2003) mengemukakan bahwa perilaku organisasi merupakan ilmu terapan yang dibangun dengan dukungan sejumlah disiplin ilmu, seperti psikologi, sosiologi, psikologi sosial, antropologi, dan ilmu politik. Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha mengukur, menjelaskan, dan mengubah perilaku manusia. Sumbangan terpenting dari ilmu psikologi terhadap perilaku organisasi adalah kajian tentang pembelajaran, motivasi, kepribadian, persepsi, pelatihan, keefektifan kepemimpinan, kepuasan kerja, pengambilan keputusan individu, penilaian kinerja, pengukuran sikap, seleksi karyawan, disain kerja, dan stres kerja.
Sumbangan terpenting psikologi terhadap perilaku organisasi terutama berkaitan dengan tiga hal: motivasi, keefektifan kepemimpinan, dan stres kerja. Motivasi berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan yang menggerakkan individu. Dalam bidang pendidikan, motivasi menjadi kajian yang lebih kompleks lagi karena berkaitan dengan beragamnya status manusia di dalamnya seperti guru, siswa, kepala sekolah, dan personil lainnya.
Konsep disiplin telah membantu organisasi dalam memahami motivasi manusia dalam organisasi. Seiring dengan perkembangan teori manajemen, juga terjadi perubahan dalam pendekatan motivasi. Perkembangan teori motivasi tersebut berawal dari pendekatan tradisional, pendekatan ekonomi, pendekatan sumber daya manusia hingga ke pendekatan kontemporer (Daft, 2000). Pandangan tradisional mengemukakan bahwa cara memotivasi seseorang diibaratkan dengan bagaimana keledai digerakkan.
Menurut pendekatan ini, cara terbaik untuk memacu keledai adalah dengan mengikat wortel pada ujung cemeti dan menggoyang-goyangkannya di luar jangkauan keledai itu. Pemikian Frederick W. Taylor yang merupakan tokoh manajemen ilmiah menjadi landasan pendekatan ini. Taylor mengembangkan pola manajemen yang didasarkan atas prinsip-prinsip ilmiah untuk mencapai efisiensi organisasi. Berdasarkan hal tersebut, sistem penghargaan yang bersifat finansial diberikan bagi karyawan yang memiliki kinerja yang tinggi dan sebaliknya, hukuman diberikan kepada karyawan yang memiliki kinerja rendah. Pendekatan ini pada gilirannya menjadi dasar bagi pengembangan sistem penggajian yang membayar gaji karyawan secara ketat berdasarkan kuantitas dan kualitas hasil kerja mereka.
Pendekatan ekonomi tidak cukup untuk menjelaskan motivasi karyawan. Penelitian Hawthorne oleh Elton Mayo mengungkapkan bahwa faktor-faktor nonekonomi seperti kerja sama, hubungan pribadi, dan kepaduan kelompok kerja jauh lebih penting daripada uang sebagai motivator perilaku kerja. Berdasarkan hal itu pendekatan ini memandang penting penciptaan kondisi-kondisi sosial yang mendukung di tempat kerja sebagai salah satu motivator karyawan.
Pada perkembangan selanjutnya, pendekatan sumber daya manusia lahir untuk menggabungkan pendekatan ekonomi dan pendekatan hubungan manusia dalam upaya menjelaskan perilaku karyawan sebagai pribadi yang utuh. Pendekatan ini menganggap bahwa pendekatan sebelumnya cenderung memanipulasi karyawan melalui penghargaan ekonomi atau hubungan sosial. Menurut pendekatan sumber daya manusia, manusia merupakan pribadi yang kompleks dan karena itu dimotivasi oleh berbagai faktor. Manusia pada dasarnya suka bekerja tidak peduli ada tidaknya motivator.
Perkembangan terakhir dari kajian motivasi kerja adalah pendekatan kontemporer. Pendekatan ini dipengaruhi oleh tiga tipe teori. Pertama, teori isi, yang menekankan pada analisis yang mendasari kebutuhan manusia. Teori isi memberikan pemahaman akan kebutuhan manusia dalam organisasi dan membantu manajer memahami bagaimana kebutuhan tersebut dapat dipuaskan di tempat kerja. Kedua, teori proses, yang memusatkan perhatian terhadap proses yang memengaruhi perilaku karyawan. Tipe teori ini memfokuskan perhatian pada bagaimana karyawan berupaya mendapatkan kepuasan di tempat kerja. Ketiga, teori penguatan, memfokuskan pada hasil perilaku karyawan sebagaimana diharapkan atau bagaimana perilaku yang ditunjukkan dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik.
C. Epektifitas Kepemimpinan
Efektifitas kepemimpinan menjadi salah satu tanggung jawab perilaku organisasi. Kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi individu atau kelompok agar secara sadar dan secara harmonis bekerja untuk mencapai tujuan organisasi. Kata “sadar” menunjukkan bahwa kepemimpinan didasarkan oleh kerelaan dan bukan paksaan. Hal ini berbeda dengan kekuasaan yang diterima sebagai suatu keterpaksaan.
Pengakuan terhadap pentingnya variabel kepemimpinan dalam organisasi telah menjadi dasar analisis para ahli dari berbagai kalangan. Dari analisis itu terungkap pentingnya strategi kepemimpinan yang dirumuskan dalam berbagai bentuk perilaku kepemimpinan yang efektif. Teori kepemimpinan perilaku (Hersey & Blanchard, 1982) yang sudah lama dikenal misalnya, memandang kepemimpinan yang efektif (yang mendorong kinerja bawahan) adalah kepemimpinan yang memperhatikan dua aspek secara bersamaan: orientasi terhadap tugas dan orientasi terhadap manusia. Orientasi terhadap tugas melahirkan kepemimpinan yang memiliki visi yang jelas, tugas yang jelas dan sistem komunikasi yang permanen. Orientasi terhadap manusia melahirkan kepemimpinan kesejawatan; kemauan pemimpin mendengarkan suara hati bawahan, memanusiakan bawahan dan mendorong partisipasi bawahan dalam berbagai aspek kehidupan organisasi. Banyak bukti menunjukkan bahwa penerapan kepemimpinan partisipatif meningkatkan komitmen bawahan terhadap tugas dan pada gilirannya meningkatkan kinerja mereka.
Secara lebih spesifik, dimensi hubungan manusia dicirikan oleh tiga aspek: (1) pemimpin menyiapkan waktu untuk mendengarkan anggota kelompoknya, (2) pemimpin berkeinginan membuat perubahan, (3) pemimpin yang bersifat bersahabat dan dekat dengan bawahan. Dimensi tugas dicirikan oleh: (1) pemimpin yang selalu memberikan tugas kepada anggota kelompok, (2) pemimpin menetapkan standar dan peraturan yang harus diikuti oleh anggota kelompok, (3) pemimpin mengharapkan anggota untuk mengetahui apa yang diharapkan dari mereka. Perpaduan kedua dimensi perilaku tersebut menciptakan kombinasi perilaku kepemimpinan yang tergambar pada kuadran berikut.
(Tinggi)
Orientasi Hubungan Manusia
(Rendah) 1-9
Tinggi
Orientasi Hubungan Manusia
Rendah
Orientasi Tugas
9-9
Tinggi
Orientasi Hubungan Manusia
Tinggi
Orientasi Tugas
Rendah
Orientasi Hubungan Manusia
Rendah
Orientasi Tugas
1-1
Rendah
Orientasi Hubungan Manusia
Tinggi
Orientasi Tugas
9-1
(Rendah) Orientasi Tugas (Tinggi)
Gambar 2: Kombinasi Perilaku Kepemimpinan
(Hersey dan Blanchard, 1982)
Berdasarkan kuadran tersebut, tampak bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin 9-9, yaitu yang tinggi pada dimensi hubungan manusia dan juga tinggi pada dimensi tugas. Perilaku kepemimpinan yang demikian sering juga disebut dengan perilaku kepemimpinan tim. Pemimpin yang kurang efektif adalah pemimpin 1-1, yaitu yang rendah pada kedua dimensi.
Beberapa penulis lainnya juga mengemukakan strategi kepemimpinan. Farkas dan Backer (1996) mengembangkan gagasan tentang Maximum Leadership yang meliputi lima pendekatan: pendekatan strategik, pendekatan aset manusia, pendekatan keahlian, pendekatan kontrol, dan pendekatan agen perubahan.
Stephen R. Covey (1991) juga mengembangkan strategi kepemimpinan yang disebut sebagai kepemimpin yang berprinsip (Principle Centered Leadership) yang salah satu strateginya adalah orientasi kepada pelanggan. Strategi ini juga diadaptasi oleh Blaine Lee (1997) dalam istilah Kekuasan yang Berperinsip (Principle-Centered Power). Kedua pendekatan ini mementingkan kapabilitas dan kebajikan dalam kepemimpinan.
Paul Brich (1999) mengembangkan strategi Instant Leadership dengan 66 cara kekepimpinan yang praktis. Di luar dari hal-hal yang betul-betul praktis, terdapat strategi inti yang dikemukakannya yaitu bahwa pemimpin terbaik adalah orang yang memungkinkan terpenuhinya tuntutan yang tadinya dianggap mustahil dan kemudian menawarkan dukungan penuh yang tadinya dianggap tidak mungkin. Intinya, kepemimpinan berkaitan dengan tantangan dan dukungan.
John C. Maxwell (1995) mengembangkan prinsip dasar kepemimpinan yang antara lain meliputi: penyusunan prioritas, integritas, menciptakan perubahan positif, pemecahan masalah, sikap positif, pengembangan aset manusia, wawasan, dan disiplin pribadi.
Selain psikologi, yang ikut mempengaruhi perilaku organisasi adalah masalah stres kerja. Istilah stres kerja digunakan untuk menunjukkan keadaan tertekan yang di¬alarm individu yang disebabkan oleh kondisi atau situasi tertentu yang terjadi di ling¬kungan kerjanya. Istilah itu membedakannya dengan jenis stres hidup lainnya yang bersumber dari lingkungan keluarga dan lingkungan sosial (Robbins, 1990). Kontribusi itu terutama dalam menjelaskan konsep stres kerja yang didasarkan pada tiga pendekatan dalam mengkaji stres, yaitu: pendekatan fisiologik, pendekatan stimulus, dan pendekatan psikologik (Cox & Ferguson, 1991). Pendekatan fisiologik berpijak pada konsep stres yang dikemukakan oleh Selye. Selye (1985) mengemukakan bahwa stress adalah respon umum tubuh terhadap suatu tuntutan. Definisi itu, didasarkan pa¬da indikator obyektif seperti perubahan jasmani dan kimiawi yang muncul sesudah adanya tuntutan atau tekanan dari lingkungan.
Menurut Selye, perubahan-perubahan itu terjadi dalam serangkaian reaksi fisiologik yang disebut The General Adaptation Syndrome atau Sindrom Adaptasi Umum yang terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap reaksi alarm, tahap perlawanan, dan tahap keletihan. Bila suatu situasi mengancam keamanan atau kesehatan individu, maka akan segera terjadi reaksi alarm. Jika indi¬vidu dapat bertahan, reaksi awal ini kemudian diikuti oleh tahap kedua, yaitu perla¬wanan terhadap situasi yang mengancam itu. Jika stres berkepanjangan, maka tahap keletihan akan terjadi, di mana kemampuan untuk mengatasi stres menurun. Tahap ini diikuti oleh munculnya penyakit biologis.
Pendekatan stimulus menekankan perlunya diperhatikan peristiwa eksternal yang menyebabkan stres (Baron & Greenberg, 1990). Stimulus berupa peristiwa eks¬ternal yang menyebabkan munculnya tuntutan terhadap individu untuk beradaptasi, mengatasi atau menyesuaikan diri (Sowa, dkk., 1986). Menurut pendekatan ini, ba¬nyak peristiwa eksternal yang potensial menyebabkan stres memiliki sifat-sifat beri¬kut: (1) mempunyai pengaruh yang sangat kuat sehingga bisa menyebabkan individu mengalami kelebihan beban fisik maupun mental, (2) potensial terhadap timbulnya keadaan yang tidak serasi pada individu, dan (3) berada di luar pengendalian individu (Baron & Greenberg, 1990).
Pendekatan psikologik atau penilaian kognitif (cognitive appraisal) diilhami oleh pemikiran Lazarus dan kawan-kawan yang memperkenalkan teori kognitif da¬lam mengkaji fenomena stres. Aspek kunci dari pendekatan itu adalah "penilaian kognitif individu.” Menurut Lazarus dan Folkman (1986), stres merupakan "a rela¬tionship with the environment that the person appraises as significant for his or her well-being and in which the demands tax or exceed available coping resources" (h. 63).
Penilaian kognitif meliputi dua dimensi: penilaian primer dan penilaian se¬kunder (Cox & Ferguson, 1991). Penilaian primer berkenaan dengan penilaian indi¬vidu untuk menentukan apakah suatu stimulus atau situasi membahayakan, meng¬ancam, atau menantang, sedangkan penilaian sekunder berkenaan dengan penilaian individu terhadap kemampuannya mengatasi stimulus tersebut. Dari perspektif itu stres terjadi manakala terdapat ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian yang sangat berarti antara persepsi individu terhadap suatu tuntutan yang dihadapinya dan ke¬mampuannya mengatasi tuntutan tersebut. Dengan kata lain stres terjadi apabila in¬dividu merasakan: (1) bahwa suatu situasi atau tuntutan mengancam tujuan penting individu, dan (2) bahwa individu tidak mampu mengatasi situasi potensial tersebut (Lazarus & Folkman, 1986).
Pendekatan itu juga memandang bahwa suatu situasi yang terjadi dapat me¬nimbulkan reaksi stres yang berbeda pada setiap individu (Cox & Ferguson, 1991). Perbe¬daan reaksi stres ini disebabkan oleh pengaruh perbedaan individu dalam proses pe¬nilaian kognitif yang terjadi dalam dua rangkaian penilaian. Pertama, dalam penilaian primer, perbedaan individu berperan dalam hubungannya dengan persepsi individu terhadap tuntutan dan tekan¬an pekerjaan. Kedua, dalam penilaian sekunder, kemampuan individu dalam meng¬atasi tuntutan tersebut bervariasi. Secara rinci, Fletcher (1991) mengemukakan bah¬wa terjadinya perbedaan reaksi atau respon stres pada setiap individu disebabkan oleh: (1) perbedaan keadaan individu, (2) perbedaan dalam melihat dunia, dan (3) perbedaan kecondongan (bias) dan sistem fungsional individu.
Dengan menggunakan pendekatan penilaian kognitif tersebut saya telah melakukan penelitian untuk mengetahui fenomena stres kerja guru (Arismunandar, 1998, 2003). Kesimpulan-kesimpulan penelitian tersebut menunjukkan hal-hal sebagai berikut.
a. Sumber-sumber stres kerja yang seringkali dihadapi guru adalah: (1) potongan gaji, (2) kenaikan pangkat/jabatan yang tertunda, (3) siswa yang berperilaku buruk, (4) konflik dengan personil lain, (5) lingkungan sekolah yang terlalu bising, dan (6) kurangnya motivasi, perhatian, dan respon siswa terhadap pelajaran.
b. Persentase guru di Sulawesi Selatan yang mengalami stres serius (tinggi dan sangat tinggi) cukup besar, yaitu 30,27 persen, sedangkan guru yang mengalami stres kerja sedang sebesar 48,11 persen dan yang mengalami stres kerja kurang serius hanya 21,62 persen.
c. Stres kerja berpengaruh terhadap kinerja guru. Pengaruh stres kerja tersebut terjadi dalam mekanisme berikut: stres kerja yang berada pada level sedang dapat meningkatkan kinerja individu (Davis & Newstrom, 1989). Stres kerja yang serius dan kurang serius tidak meningkatkan kinerja individu.
d. Individu yang lebih muda, wanita, memiliki perilaku tipe A, individu yang memiliki dukungan sosial rendah, dan individu yang memiliki lokus kendali eksternal mengalami stres lebih tinggi dibanding mereka yang berusia tua, pria, individu tipe B, yang memiliki dukungan sosial tinggi, dan yang memiliki lokus kendali internal.
D. Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sebagaimana sekolah dipahami sebagai suatu organisasi, kepemimpinan dan manajemen menjadi menarik untuk kaji. Sebagai suatu organisasi, sekolah memerlukan tidak hanya seorang manajer untuk mengelola sumber daya sekolah, yang lebih banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan adminstratif lainnya, melainkan juga memerlukan pemimpin yang mampu menciptakan sebuah visi dan mengilhami staf dan semua komponen individu yang terkait dengan sekolah. Wacana ini mengimplikasikan bahwa baik pemimpin maupun manajer diperlukan dalam pengelolaan sekolah.
Berbeda dengan organisasi lain, sekolah merupakan bentuk organisasi moral, yang berbeda dengan bentuk organisasi lainnya, terutama yang berorientasi pada keuntungan (laba). Sebagai suatu organisasi, menurut Rumtini Iksan (http://www.depdiknas.go.id: 2005) kesuksesannya tidak hanya ditentukan oleh kepala sekolah melainkan juga oleh tenaga kependidikan lainnya dan proses sekolah itu sendiri. Hal tersebut membawa konsekuensi logis bahwa kepala sekolah berkewajiban mengkoordinasikan ketenagaan di sekolah untuk menjamin terimplementasikannya peraturan dan perundangan sekolah. Dalam perannya tersebut, kepala sekolah dapat berfungsi sebagai motivator, direktur, dan evaluator.
Kepala sekolah adalah pemimpin pada satu lembaga satuan pendidikan. Tanpa kehadiran kepala sekolah proses pendidikan termasuk pembelajaran tidak akan berjalan efektif. Kepala sekolah adalah pemimpin yang proses keberadaannya dapat dipilih secara langsung, ditetapkan oleh yayasan, atau ditetapkan oleh pemerintah. Menurut Awaludin Hamzah (http://www.pikiran-rakyat.com: 25 Oktober 2004) Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi kepala sekolah yaitu :
1. Aspek Akseptabilitas
Akseptabilitas adalah aspek mengandalkan dukungan riil dari komunitas yang dipimpinnya. Seorang kepala sekolah harus mendapat dukungan dari guru-guru dan karyawan lembaga yang bersangkutan sebagai komunitas formal yang dipimpinnya. Dukungan ini juga secara nonformal harus mendapat pula dari masyarakat pendidikan termasuk komite sekolah sebagai wadah organisasi orang tua/wali siswa.
Seorang kepala sekolah sah menjadi pemimpin apabila mendapat dukungan riil dari masyarakat yang dipimpinnya, hal ini untuk memudahkan kinerja tugas serta menghindarkan dari sikap apriori atau pembangkangan dari yang dipimpinnya. Sesungguhnya jika seseorang yang memimpin tidak dikehendaki oleh yang dipimpin akan menimbulkan ketidakserasian dalam pelaksanaan tugas.
Aspek akseptabilitas ini dalam teori organisasi disebut legitimasi (pengakuan) yakni kelayakan seorang pemimpin untuk diakui dan diterima keberadaannya oleh mereka yang dipimpin. Untuk mendapatkan legitimasi, sebaiknya kepala sekolah dipilih langsung oleh guru-guru.
Hanya orang yang dipilih melalui proses pemilihan seperti ini biasanya seorang pemimpin mendapat dukungan yang nyata. Tentunya melalui tahapan seleksi yang ketat tidak asal memilih. Kepemimpinan seperti ini akan memiliki legitimasi yang sangat kuat jika melalui proses pemilihan langsung yang dilaksanakan secara adil, jujur, dan transparan.
2. Aspek kapabilitas
Aspek kapabilitas menyangkut kompetensi (kemampuan) untuk menjalankan kepemimpinan. Untuk menjadi kepala sekolah tidak hanya cukup mendapat pengakuan dari guru-guru sebagai pendukungnya tapi juga harus memiliki kemampuan memimpin.
Selain itu, memiliki kemampuan dalam mengelola sumber daya yang ada dari orang-orang yang dipimpinnya agar tidak menimbulkan konflik. Kapabilitas ini sangat diperlukan bagi seorang kepala sekolah, melalui pengalaman yang cukup memadai serta pengetahuan mengenai manajemen sekolah dan pendidikan lainnya. Apabila kepala sekolah tidak memiliki kemampuan dalam mengelola dapat dipastikan lembaga yang dipimpinnya tidak akan berjalan efektif dan ada kemungkinan berantakan. Konflik biasanya muncul karena adanya berbagai kepentingan dan gagasan yang kurang terakomodasi dengan sempurna. Apabila konflik ini dikelola dengan baik serta mengakomodasi hal-hal yang secara realistis dapat dilaksanakan, akan melahirkan sebuah kesepakatan dan pemahaman yang akan terasa elok apabila dilaksanakan secara bersama dengan penuh tanggung jawab.
3. Aspek integritas
Aspek integritas adalah sebuah persyaratan yang sempurna apabila aspek akseptabilits dan kapabilitas terpenuhi. Dengan persyaratan ini seorang kepala sekolah dapat menghasilkan produk kepemimpinan yang sempurna dan diterima oleh khalayak.
Secara sederhana, integritas artinya komitmen moral dan berpegang teguh terhadap aturan main yang telah disepakati sesuai dengan peraturan dan norma yang semestinya berlaku. Faktor ini akan menentukan wibawa dan tidaknya seorang kepala sekolah.
Suatu penghargaan akan diberikan terhadap seorang pemimpin apabila memegang teguh janjinya serta komitmennya terhadap sesuatu yang telah disepakatinya. Jadi, integritas adalah menyangkut konsistensi dalam memegang teguh aturan main atau norma-norma yang berlaku di dunia pendidikan.
Selain tiga persyaratan tersebut, kepala sekolah sebagai seorang manajer di lembaga pendidikan juga harus memiliki tiga kecerdasan pokok, yaitu : kecerdasan profesional, kecerdasan personal dan kecerdasan manajerial agar dapat bekerja sama dan mengerjakan sesuatu dengan orang lain. Rosyada (2004:240-242) mengklasifikasikan kemampuan manajerial yang harus dipertimbangkan sebagai langkah awal mengerjakan berbagai tugas manajerial, yaitu :
a. Kemampuan mencipta, yang meliputi : selalu mempunyai ide-ide bagus, selalu memperoleh solusi-solusi untuk berbagai problem yang biasa dihadapi, mampu mengantisipasi berbagai konsekuensi dari pelaksanaan berbagai keputusan dan mampu mempergunakan kemampuan berfikir imajinatif (lateral thingking) untuk menghubungkan sesuatu dengan yang lainnya yang tidak bisa muncul dari analisis dan pemikiran-pemikiran empirik.
b. Kemampuan membuat perencanaan, yang meliputi : mampu menghubungkan kenyataan sekarang dan hari esok, mampu mengenali apa-apa yang penting saat itu dan apa-apa yang benar-benar mendesak, mempu mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan mendatang, dan mampu melakukan analisis.
c. Kemampuan mengorganisasi, yang meliputi : mampu mendistribusikan tugas dan tanggung jawab yang adil, mampu membuat putusan secara tepat, selalu bersikap tenang dalam menghadapi kesulitan, mampu mengenali pekerjaan itu sudah selesai dan sempurna dikerjakan.
d. Kemampuan berkomunikasi, yang meliputi: mampu memahami orang lain, mampu dan mau mendengarkan orang lain, mampu menjelaskan sesuatu pada orang lain, mampu berkomunikasi melalui tulisan, mampu membuat orang lain berbicara, mampu mengucapkan terima kasih pada orang lain , selalu mendorong orang lain untuk maju dan selalu mengikuti dan memanfaatkan tekhnologi informasi.
e. kemampuan memberi motivasi, yang meliputi : mampu memberi inspirasi pada orang lain, nyampaikan tantangan yang realistis, membantu orang lain untuk mencapai tujuan dan target, membantu orang lain untuk menilai kontribusi dan pencapaiannya sendiri.
f. Kemampuan melakukan evaluasi, yang meliputi : mampu membandingkan antara hasil yang dicapai dengan tujuan, mampu melakukan evaluasi diri, mampu melakukan evaluasi terhadap pekerjaan orang lain, dan mampu melakukan tindakan pembenaran saat diperlukan.
BAB III
KESIMPULAN
Tujuan kajian perilaku organisasi pada dasarnya ada tiga, yaitu menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan perilaku manusia. Robbins (2002). Menjelaskan, kajian perilaku organisasi berupaya mengetahui faktor-faktor penyebab perilaku seseorang atau kelompok. Penjelasan terhadap suatu fenomena dalam manajemen merupakan hal penting karena membantu para manajer atau pemimpin tim dalam melakukan sasaran lain yaitu mengendalikan situasi penyebab perilaku individu atau kelompok kerja tersebut.
Sasaran kedua, yaitu meramalkan berarti perilaku organisasi membantu memprediksi kejadian organisasi di masa mendatang. Pengetahuan terhadap faktor-faktor penyebab munculnya perilaku individu atau kelompok membantu manajer meramalkan akibat-akibat dari suatu program atau kebijakan organisasi. Hal ini membantu melakukan pengendalian preventif terhadap perilaku individu dan kelompok dalam organisasi.
Sasaran ketiga yaitu mengendalikan mengandung arti bahwa perilaku organisasi menawarkan berbagai strategi dalam mengarahkan perilaku individu atau kelompok. Berbagai strategi kepemimpinan, motivasi, dan pengembangan tim kerja yang efektif merupakan contoh-contoh dalam mengarahkan perilaku individu dan kelompok.
Berhasil atau tidaknya organisasi mencapai visi dan misinya juga dipengaruhi oleh perilaku kepemimpinan dalam organisasi seperti: “membuat keputusan, menetapkan sasaran, memilih dan mengembangkan personalia, mengadakan komunikasi, memberikan motivasi, dan mengawasi pelaksanaan manajemen”.
Wallohu alam bissowab.